Rabu, 05 Oktober 2016

Blog Am I Coward telah migrasi ke rumah baru,

link di bawah ini akan mengantarkan anda ke rumah barunya

 

hudiyawan.id

 

Maaf atas ketidaknyamanannya

Minggu, 25 September 2016

When You Are Dreaming With A Broken Heart, The Waking Up Is The Hardest Part



Ponorogo, 25 September 2016 8:20 pm.

Malam ini hujan terlihat malu, ia enggan muncul setelah beberapa hari yang lalu terus muncul seperti benalu. Derasnya yang muncul tanpa aba-aba, derasnya yang muncul tanpa menyapa, derasnya yang datang ketika kau mulai terlihat pilu. Hujan tak lagi membuatmu tertawa girang seperti bocah-bocah seragam putih-merah yang berlari tanpa alas kaki, hujan tak lagi menggiringmu untuk menengadahkan tangan merasakan tetesan hujan yang turun dari sela-sela ujung genteng warung yang telah tutup ketika kau berteduh. Kali ini hujan dengan nakal menambah masa-masa surammu, masa berkabung dengan apa yang telah datang padamu.

Sangat jarang sekali bibirmu melempar senyum, binar-binar matamu mulai pudar, kau berlalu seperti punggungku beberapa tahun yang lalu, kaku. Mungkin aku pernah merasakan apa yang ada dalam perasaanmu, tapi aku tidak pernah tahu betapa sakitnya dirimu, yang aku tahu bahasa tulisan apapun tak sanggup mewakili perasaan sakitmu.

Perpisahan memang seperti itu, tak pernah direncanakan, dan hanya datang membawa pilu. Kesedihan, itu pasti, Tangis, mungkin itu perlu, Bergerak maju, satu cara yang memang perlu.

Aku mungkin akan mengatakan seperti orang lain katakan padamu:

“Masih ada orang sekitarmu yang akan menguatkanmu” atau ”Masih ada orang yang hebat dibangdingkan dengan yang dulu”.

Aku tak seperti itu, bergerak maju tak semudah itu, aku tahu itu. Kau hanya perlu menikmati itu, hingga kau merasa bosan dengan hal-hal seperti itu, yang membuatmu sendu ketika tetesan hujan mengalir di jendelamu, bukan lagi yang membuatmu rindu dengan aroma tanah basah setelah hujan yang turun menghampirimu.

Lakukanlah apa yang menurutmu mampu menghiburmu, yang mampu melupakan luka yang membebani hatimu, meskipun akan kembali datang ketika selesai menghiburmu, yang akan muncul ketika lampu kamarmu mati sebelum tidurmu, yang tanpa paksaan hadir ke dalam lelapmu, memaksamu untuk mengingat hal-hal yang telah lalu. Berdoalah agar diberikan yang terbaik bagi dirimu, hingga kau melewatkan masa masa kelammu. Hingga senyummu hadir melegakan hari-harimu.

Minggu, 18 September 2016

Hop On Above Words and Stories Along For the Ride of Your Life



Dua purnama telah berlalu, purnama ketiga muncul dengan sedikit malu, sekali lagi kopiku masih belum terjamu.

Berbulan-bulan yang lalu aku memilih untuk meninggalkanmu, kewajibanku telah berakhir dengan toga yang kubiarkan berdebu di dalam lemari usang bekas kamarku. Kotaku yang dulu hingar bingar ketika berpisah denganku, kini sedikit pilu dengan lalu lalang asing penuh benalu, aku pernah menjadi benalu.

Kedai kopi yang biasa aku singgahi sedikit berubah, meja yang dulu sepi kini telah bertambah. Pelanggannya pun terlihat masih baru, atau aku yang sudah terlalu lama tak berkunjung berubah menjadi pelanggan baru, hanya ada satu orang pelanggan yang masih familiar di mataku, seorang pria yang selalu ada ketika aku berkunjung di kedai itu. Baristanya pun masih sama, seorang wanita dengan seni tato yang tergambar di lengan kanannya, sedikit tertutupi oleh kaos hitam yang dikenakannya, tato bermotif tribal yang menari-nari ketika lengannya mulai membuat sajian kopi.

Kopiku masih belum terjamu, proses penyajian sebuah kopi memang membutuhkan kelihaian dan keteliatian, aku masih bisa memaklumi.

Jam tanganku telah mati, jarumnya berhenti di pukul 12, dengan jarum detik yang berhenti di angka ke 23. Kedai ini tak menyediakan penunjuk waktu, agar para pelanggan tak pernah merisaukan waktu, cukup dengan habisnya kopi dalam cangkir tanahmu telah mengingatkan tentang usainya kunjunganmu, jika kau merasa kurang waktu, kau bisa menambah secangkir kopi lagi agar rindumu tak cepat berlalu. Aku memilih metode penyajian France Press yang terisi penuh, agar aku puas duduk di kursi meja kedai itu dan mencatat catatan kenanganku hingga terbunuhnya waktu.

Terlalu sore bagiku berkunjung ke kedai ini, jam di smartphoneku masih menunjukkan pukul 7:56, tak seperti biasanya aku datang sesore ini, kunjunganku terbiasa ketika jam dinding kamarku berbunyi sembilan kali, waktu aku bersiap untuk melepas rindu kepahitan hakiki dari secangkir kopi. Kota yang telah lama tak ku singgahi ini membuatku tak sabar lagi untuk beranjak dari ruang malasku.

Kopiku telah tersaji di atas meja, tepat dihadapanku, tersaji disebelah kanan laptopku, tempat aku mencoba melupakan kenangan-kenangan masa laluku melalui catatan-catatan cacat yang tak terbaca olehku, biarlah orang lain yang membaca, yang merasa tak terlalu jemu dengan kisah-kisah pilu, aku takut membaca tulisanku, membuatku mengingat kembali kisah masa lalu, kisah kelam yang berhasil memudarkan kisah indah didalam otakku. Memori yang tersimpan di benak kita memang selalu mudah untuk mengingat masa kelam, yang membutuhkan sedikit waktu untuk mengingat kisah indah masa lalu.

Terkadang secangkir kopi menawarkan kenyamanan di setiap teguk yang kita sesapi, Kedai kopi sendiri menawarkan ketenangan yang menyembuhkan rindu yang kita sendiri tak tahu apa itu.

Rabu, 20 Juli 2016

Kedai Kopi dan Mereka Yang Membuat Iri



Kedai ku penuh dengan pasangan pasangan baru, meja di sebelah kananku terisi oleh kawanku yang ditemani oleh pasangannya. Berdua berbagi tawa tepat ketika kursi kosong baru saja diduduki, pasangan yang masih baru, tersirat dari cara mereka saling menatap, binar binar mata yang penuh hasrat yang menggebu, sama seperti tingkah dan perilaku yang menunjukkan bahwa mereka adalah pasangan baru. Jika saja peridksiku salah, kemungkinan mereka baru saja merayakan sesuatu, entah ulang tahun, entah perayaan hari dimana hubungan dia dimulai.

Berbeda dengan meja di sebelah kiriku, bukan kawanku, hanya saja dua orang pasangan yang masih asing di mataku. Gerak geriknya menandakan mereka dalah pasangan yang cukup lama. Obrolan mereka di isi dengan diskusi diskusi rancu, yang terkadang tetap memberikan sentuhan sentuhan komedi, meskipun sedikit. Tema diskusi yang cukup membosankan yang terpaksa masuk di telingaku, di ruangan sempit kedai langgananku.

Menghibur diri dengan ketikan rangkaian rangkaian catatan  cacat yang tertuangkan di lembaran digital dunia maya. Sendiri ditemani secangkir kopi dan asap laknat yang masih berusaha di hentikan. Mengamati pasangan seperti mereka membuatku iri, meskipun mencoba untuk menekan rasa iri, tapi iri selalu mempunyai tempat di hati, sekecil apapun, di selalu ada menghantui.

Aku pernah mengalami masa masa seperti mereka, masa awal bersama pasangan, masa kebosanan yang muncul ketika waktu yang terlalu lama di habiskan bersama pasangan. Ketika itu pun aku menyerah kalah, tak mampu melawan kebosanan, menerima kebosanan lalu pergi mencari kebersamaan yang aman. Kebersamaan bersama kawan kawan yang kelak akan memunculkan perpisahan. Entah kesibukan dan keluarga akan menjadi kambing hitam yang paling utama ketika kebersamaan itu bersama kawan.

Sore yang lalu aku masih bersama mereka dengan kebersamaan amannya. Menikmati berbagai hidangan mulai dari kopi teh hingga minuman unik lainya. Berbagi tawa tanpa ada yang merasa terhina, berbagi duka tanpa ada tangis diantaranya. Karena merekalah yang membumikan kita ketika kita bahagia, dan merekalah yang menjadi tongkat untuk menguatkan kita.

Malam ini sedikit sendiri, kepahitan kopi yang hakiki dengan sedikit mengamati, pasangan yang menikmati waktu mereka dengan cara mereka sendiri. Mengagumi mereka walau dengan sedikit iri. Sembari menata diri untuk siap menghadapi hal hal baru kedepannya nanti, meskipun hal yang berurusan dengan hati.

Rabu, 15 Juni 2016

Sssssttt… It’s a Secret


Seperti musim hujan yang tak ingin tergantikan dengan kemarau yang panjang. Angin ketidak relaan yang berhembus kencang dengan sisa embun penghujan melambaikan perpisahan. Hujan dan mendung yang dulu selalu riang berubah bosan mencoba terlupakan. Hadir ketidak nyamanan yang  menampilkan kenangan dalam setiap lamunan. Tertuang dalam lembar lembar catatan, catatan sebuah kenangan.

Catatan catatan kenangan yang sempat aku coba akhiri, dari perasaan hina yang masih ku usahakan untuk ku akhiri, dari ingatan yang sempat terhalang rimbunnya tawa kecil, hingga perasaan membiarkan beriringan dengan langkah merajut misteriusnya hari esok.

Tengah malam, di sebuah ruangan kecil yang baru beberapa minggu aku tempati. Anehnya aku begitu terlelap cepat malam ini, entah kegiatan apa saja yang aku lakukan hari ini. Hingga lupa untuk mematikan lampu kamar yang masih terang menyala, dan laptop usangku yang sedemikan rupa memiliki nasib yang sama dengan lampu kamar. Tengah malam yang tidak biasa biasanya aku terbangun, seperti halnya nya manusia manusia di era saat ini, satu hal yang dilakukan mereka ketika memulai membuka mata. Memeriksa smartphone yang entah dimana aku menaruhnya sebelum lelap yang dengan tiba tiba menghinggap. Sedikit pencarian dan tentunya dapat kutemukan di sela sela bantal yang memang tidak masuk akal jika terus kupikirkan, karena memang penemuan ini tak perlu dipikirkan. Segera aku memeriksa smartphone ku tentang hal hal yang aku lewatkan ketika aku terlelap, yang sebenarnya memang tak perlu, karena aku tahu jarang jarang ada pesan masuk untukku. Dan benar saja hanya beberapa pesan di inbox smartphone ku yang memang pesan beberapa hari lalu yang belum sempat aku buka, dan hingga aku benar benar kehilangan kantukku kala membuka salah satu media pesan singkat , media pesan singkat yang membuatku tak perlu melihat siapa yang mengirim, karena aku tahu itu dari dirimu dan memang hanya kau lah satu satunnya kontak yang aku punya di media pesan singkat itu. Pesan yang berusia beberapa jam yang lalu di sela sela lelap cepatku, pesan yang memberitahukan bahwa kau telah mengirimkan sebuah email kepadaku, sebuah hal yang tak pernah kau lakukan untukku. Terakhir kali ku menerima email dari seseorang yang sempat spesial di kehidupanku berpuluh puluh bulan yang lalu. Kali ini dari dirimu yang sempat berhari hari terpikirkan olehku untuk kujadikan seorang yang spesial, tapi tak ku lakukan itu karena aku tahu merusak perasaan orang lain bukan kebiasanku, tapi untuk barang di sekitarku aku selalu. Karena email itu darimu, aku mencoba menempatkan diriku di kursi di dekat dapur rumah adikku, tempat yang biasa  ku dapati ketika ku mencoba menyelesaikan novel yang baru saja aku beli. Kau selalu memujiku ketika kita membahas tentang catatan catatan kenangan di sebuah blog sederhana di dunia maya, catatan kenanganku yang kesemuannya penuh pilu. Tapi kau membuatku malu, ternyata kau lebih pandai dalam menuliskan kisah kisahmu, lebih pandai menuliskan perasaan perasaanmu. Aku malu karena seharusnya aku yang lebih dulu menuliskannya untukmu, karena aku lah yang memulai, tapi kau lebih cepat mendahuluiku.

Tingkah anehku memang telah menjadi rahasia umum di sekitarku, berkat pertemuan pertama kali itu, hingga rekaman rekaman yang membuatku malu, tanpa sadarku tentunya rekaman itu muncul, dan esoknya kita dipertemukan kembali, di tempat dimana rekaman itu muncul dan kau terus menatapku. Entah tingkah apa saja yang kulakukan kala itu, sekedar mengingatnya pun aku malu. Ketika kali pertama kita bertemu, segera aku melepas kacamataku ketika kau memilih duduk didepanku, karena aku memang tak punya daya untuk menatap seseorang wanita yang masih asing di mataku. Terkadang aku memilih menghindari percakapan basi basi dengan sesosok makhluk yang Tuhan ciptakan untuk mendampingi adam. Bukan karena aku tak mau, tapi aku memilih menjadi sewajarnya jika bertemu dengan wanita baru, itu lah sebabnya aku tak begitu mempercayai ungkapan love at the first sight, karena aku takut perasaan ini menipuku, karena memang cinta pada pandangan pertama dengan kekaguman pada tatapan pertama memang dua hal yang ambigu, karena kita bisa salah menafsirkan posisi kita saat itu. Itulah mengapa aku selalu mencari wanita wanita yang setidaknya masih familiar dalam kehidupanku. Tapi setidaknya dengan pertemuan kali pertama denganmu mampu mengetuk pintu hatiku, sedikit mengintip menatap hal hal baru. Setelah pertemuan pertemuan rutin dengan kolega kolegaku, aku memberanikan diri bertanya perihal perasaan yang stuck di kepalaku kepada kakakmu, walaupun hanya dengan media pesan singkat, yang menyegerakan diriku untuk mengambil langkah yang tepat sebelum hal yang mengenai perasaan ini terus berlarut, tidak baik untukmu tentu. Hingga kita bertemu kembali di suasana yang lebih canggung, dan tentunya kau sudah tahu.

Aku sering mendengarkan lagu walaupun diperoleh dengan sedikit tindakan kriminal, pembajakan memang tak pernah dibenarkan, tapi tak masalah selama tendensiku untuk mendengarkan karya ajaib orang orang seni. Ajaib karena memang mendengarkan satu lagu mampu mengingat seribu kenangan, seperti kata kata ku kepadamu yang menyangkut kenangan kenangan masa lalu. Tapi hanya satu lagu yang sampai saat ini aku takut untuk kudengarkan hingga saat ini, walapun aku masih mengingat dan menyimpan, lagu dengan syair yang cukup menyayat, lagu yang sempat kunyanyikan di saat kita bersama kolegaku di sebuah bilik yang memang diperuntukkan untuk menyanyi walaupun aku segera menghentikan nyanyianku pertengahan lagu, karena aku tak sanggup melanjutkan nyanyian itu, takut kegundahanku semakin dalam, walaupun sebenarnya itu tak masalah buatku.

" 'Till I look at my hands and feel sad, 'Cause the spaces between my fingers are right where yours fit perfectly "

Sepenggal lirik yang akhirnya aku tulis di catatan kenangan terakhirku, walaupun pada akhirnya aku merevisi ucapanku, sepertinya itu perlu. Aku masih mengingat beberapa lagu yang secara tidak langsung ku rekomendasikan untukmu, lagu yang mengisahkan tentang seorang pria yang gagal menjalani hidupnya, pria gagal yang masih belum mampu untuk melupakan seorang wanita yang dikasihinya, pria yang masih menunggu wanita tersebut untuk kembali padanya, hingga lagu yang mengisahkan seorang pria yang tersadar bahwa dia masih mencintai sesosok wanita ketika pria tersebut membiarkan wanita itu pergi dari kehidupanya. Dan anehnya hanya dua lagu itu yang kudengarkan setiap saat sebelum aku bertemu denganmu, yang lambat laun menghilangkan bisikan bisakan syahdu yang semakin menjatuhkanku, terganti dengan lagu lagu yang sedikit demi sedikit mengangkatku, mungkin itu salah satu kekuatan ajaib darimu.

Syukurlah kita bertemu untuk kesekian kalinya, walaupun masih dalam perkumpulan kolegaku, Karena aku selalu mengusahakan diriku untuk bertemu, Bukan perasaan menggebu untuk bertemu dengan sesosok yang telah mengetuk pintu hatiku, bukan perasaan yang mencoba untuk mengharapkan diriku menjadi malaikatmu, bukan itu yang kuharapkan, walaupun ada sedikit perasaan seperti itu. Aku hanya ingin perkenalan perkenalan yang rutin dipertemukan membuatku lebih terbiasa, lebih bersikap sewajarnya tanpa ada tendensi apa apa. Dan memang hal itu berhasil membuatku semakin sadar akan posisiku yang memang aku tak pernah berharap menjadi orang yang ketiga, aku tak ingin menjadi orang ketiga. Dan syukurlah aku tidak terlalu jatuh dalam pusaran perasaan aneh yang memang sulit untuk ditafsirkan. Karena memang cinta adalah sesuatu hal yang bisa kita miliki walaupun kita harus tahu kita tidak harus memilikinya, toh selama kita saling memiliki perasaan itu dan sadar akan posisi,  kita tak perlu memaksakan diri untuk saling memiliki dengan cara menyakiti. Biarkan perasaan ini menjadi kisah tersendiri, kisah rahasia yang kita simpan di toples disudut ruang hati tanpa ada nama, tanpa ada ada tanda, karena memang itu salah satu bumbu unik dalam kehidupan kita.

Kalau saja kejadian ini di jadikan sebuah film untuk pribadi, mungkin akan ada sedikit plagiarisme di dalamnya. Kesamaan proses yang sama dengan masa laluku, mungkin sedikit memirip miripkan menurutku, tapi memang itu yang terjadi, dengan kisah yang berbeda tentunya. Ketika aku pernah mengalami sebuah problem laptop dengan sedikit titipan bubur kacang ijo, ketika aku memulai kepedeanku tentang perasaan yang saling mengaitkan. Dengan kisah yang mirip dengan problem laptop mu, tapi sedikit berbeda dengan tawaran es krim yang memang pas dengan cuaca panas kala itu, untungnya aku memampatkan kepedeaanku kala itu. Pertemuan untuk pertama kalinya tanpa kolegaku, tentunya murni karena ada problem laptopmu, walaupun ada tiga kali revisi, dengan sekali makan malam dietku. Bukan karena aku berusaha mengurangi berat badanku, tapi karena memang masakan kota yang telah lama aku tinggali ini tak begitu menggugah seleraku, terlebih makanan makanan asing yang memang tak pernah kucoba sentuh. Mungkin aku terlalu kolot memang, karena lidahku terlalu jawa untuk menghadapi hal hal baru, seperti jam 9 malam harus menyegerakan pulang, seperti apa yang kau tuliskan baru baru ini. Dulu memang sering terjadi pertengkaran kecil ketika aku masih berpasangan dengan seseorang, perihal jam 9 malam. Aku selalu berusaha memulangkan nya ketika jam telah mendekati jam 9 malam, memang berbeda dengan ketika aku bersama dengan kolega kolegaku. Aku berusaha menghargai kolegaku yang menginginkan pulang lebih larut,tapi tidak untuk seorang wanita yang bersamaku, siapapun wanita itu, jika berdua ada perasaan menjaga entah dari mana itu, aku harus memulangkannya sebelum malam semakin larut. Karena bagiku malam begitu jahat kepada seorang wanita, gelapnya malam membutakan mata indah dengan pupil pupil mata yang terpaksa merekah, dinginnya malam membekukan senyuman lentik yang menyayukan, karena malam menawarkan keheningan yang menyuramkan, Karena malam adalah rintihan indah setitik bintang yang terus mengalah. Karena wanita adalah salah satu makhluk kebahagian terindah yang pertama kau temui ketika pagi kau membuka mata, siapapun itu, pikirku.

Jika aku dipaksa untuk mengatakan alasan alasan kenapa aku harus menulis kembali, karena memang aku telah terlalu lama tidak mencurahkan perasaanku dalam catatan catatan cacat. Mungkin dengan sangat malu aku aku akan mengatakan kau lah salah satu alasanku, walaupun masih ada alasan alasan lain. Ketertarikanku yang berhasil dengan pilunya aku redam mampu mencurahkan jemariku untuk menulis catatan catatan cacat, meskipun pilunya masa lalu sedikit menghampiri catatan catatanku, tapi setidaknya aku kembali mencurahkan beberapa ganjalan hatiku yang memang aku tak mampu mencurahkan ganjalan terdalamku kepada orang lain, meskipun itu orang terdekatku. Aku lebih senang mencurahkan ganjalan ganjalanku kepada orang lain dengan segmen yang berbeda dengan komedi yg tersirat tentunya, aku rasa kaupun tahu itu. Setidaknya dengan catatan catatan cacatku ada sedikit kelegaan yang muncul dalam benakku, kelegaan yang hanya aku yang merasakan itu.

Tulisan tulisanku kali ini memang seperti jawaban jawaban yang memang bukan dari pertanyaan darimu untukku. Aku sangat sangat menghormati atas apa yang kau tulis untukku, sedikit terharu, malah aku merasa menjadi orang yang baru, kau telah mengingatkanku bahwa perasaan ini benar benar membantuku untuk lebih berani memulai lagi perasaan perasaan baru yang memang aku tak pernah sanggup untuk mengawali hal yang baru, terlebih setelah aku begitu ketakutannya untuk mengawali hal hal baru, setelah masa lalu yang sempat indah menjadi serpihan serpihan pilu, walaupun sempat menyatu, hingga perasaan yang takut untuk memulai sesuatu yang terlalu lama menjadi trauma. Untung lah kita bisa saling menekan perasaan yang belum sempat larut, cukup hanya menjadi bagian skenario yang telah di ciptakan-Nya untukmu, untukku, melalui perasaan yang memang dari awal tak perlu di larutkan. Kau tak perlu melenyapkan dirimu, tak perlu menghilangkan eksistensimu, karena memang kita mempunyai batas batas tersendiri tanpa ada ikatan apapun. Kota ini pun sudah membatasi, tapi hei! di kampung kita masih ada tawa yang perlu dibagi, dengan perkumpulan kolega kolegaku tentunya, kota kecil yang membuatku tak pernah berpikiran untuk mengurangi berat badanku.

Blog Am I Coward telah migrasi ke rumah baru, link di bawah ini akan mengantarkan anda ke rumah barunya   hudiyawan.id   Maaf ata...