Minggu, 25 September 2016

When You Are Dreaming With A Broken Heart, The Waking Up Is The Hardest Part



Ponorogo, 25 September 2016 8:20 pm.

Malam ini hujan terlihat malu, ia enggan muncul setelah beberapa hari yang lalu terus muncul seperti benalu. Derasnya yang muncul tanpa aba-aba, derasnya yang muncul tanpa menyapa, derasnya yang datang ketika kau mulai terlihat pilu. Hujan tak lagi membuatmu tertawa girang seperti bocah-bocah seragam putih-merah yang berlari tanpa alas kaki, hujan tak lagi menggiringmu untuk menengadahkan tangan merasakan tetesan hujan yang turun dari sela-sela ujung genteng warung yang telah tutup ketika kau berteduh. Kali ini hujan dengan nakal menambah masa-masa surammu, masa berkabung dengan apa yang telah datang padamu.

Sangat jarang sekali bibirmu melempar senyum, binar-binar matamu mulai pudar, kau berlalu seperti punggungku beberapa tahun yang lalu, kaku. Mungkin aku pernah merasakan apa yang ada dalam perasaanmu, tapi aku tidak pernah tahu betapa sakitnya dirimu, yang aku tahu bahasa tulisan apapun tak sanggup mewakili perasaan sakitmu.

Perpisahan memang seperti itu, tak pernah direncanakan, dan hanya datang membawa pilu. Kesedihan, itu pasti, Tangis, mungkin itu perlu, Bergerak maju, satu cara yang memang perlu.

Aku mungkin akan mengatakan seperti orang lain katakan padamu:

“Masih ada orang sekitarmu yang akan menguatkanmu” atau ”Masih ada orang yang hebat dibangdingkan dengan yang dulu”.

Aku tak seperti itu, bergerak maju tak semudah itu, aku tahu itu. Kau hanya perlu menikmati itu, hingga kau merasa bosan dengan hal-hal seperti itu, yang membuatmu sendu ketika tetesan hujan mengalir di jendelamu, bukan lagi yang membuatmu rindu dengan aroma tanah basah setelah hujan yang turun menghampirimu.

Lakukanlah apa yang menurutmu mampu menghiburmu, yang mampu melupakan luka yang membebani hatimu, meskipun akan kembali datang ketika selesai menghiburmu, yang akan muncul ketika lampu kamarmu mati sebelum tidurmu, yang tanpa paksaan hadir ke dalam lelapmu, memaksamu untuk mengingat hal-hal yang telah lalu. Berdoalah agar diberikan yang terbaik bagi dirimu, hingga kau melewatkan masa masa kelammu. Hingga senyummu hadir melegakan hari-harimu.

Minggu, 18 September 2016

Hop On Above Words and Stories Along For the Ride of Your Life



Dua purnama telah berlalu, purnama ketiga muncul dengan sedikit malu, sekali lagi kopiku masih belum terjamu.

Berbulan-bulan yang lalu aku memilih untuk meninggalkanmu, kewajibanku telah berakhir dengan toga yang kubiarkan berdebu di dalam lemari usang bekas kamarku. Kotaku yang dulu hingar bingar ketika berpisah denganku, kini sedikit pilu dengan lalu lalang asing penuh benalu, aku pernah menjadi benalu.

Kedai kopi yang biasa aku singgahi sedikit berubah, meja yang dulu sepi kini telah bertambah. Pelanggannya pun terlihat masih baru, atau aku yang sudah terlalu lama tak berkunjung berubah menjadi pelanggan baru, hanya ada satu orang pelanggan yang masih familiar di mataku, seorang pria yang selalu ada ketika aku berkunjung di kedai itu. Baristanya pun masih sama, seorang wanita dengan seni tato yang tergambar di lengan kanannya, sedikit tertutupi oleh kaos hitam yang dikenakannya, tato bermotif tribal yang menari-nari ketika lengannya mulai membuat sajian kopi.

Kopiku masih belum terjamu, proses penyajian sebuah kopi memang membutuhkan kelihaian dan keteliatian, aku masih bisa memaklumi.

Jam tanganku telah mati, jarumnya berhenti di pukul 12, dengan jarum detik yang berhenti di angka ke 23. Kedai ini tak menyediakan penunjuk waktu, agar para pelanggan tak pernah merisaukan waktu, cukup dengan habisnya kopi dalam cangkir tanahmu telah mengingatkan tentang usainya kunjunganmu, jika kau merasa kurang waktu, kau bisa menambah secangkir kopi lagi agar rindumu tak cepat berlalu. Aku memilih metode penyajian France Press yang terisi penuh, agar aku puas duduk di kursi meja kedai itu dan mencatat catatan kenanganku hingga terbunuhnya waktu.

Terlalu sore bagiku berkunjung ke kedai ini, jam di smartphoneku masih menunjukkan pukul 7:56, tak seperti biasanya aku datang sesore ini, kunjunganku terbiasa ketika jam dinding kamarku berbunyi sembilan kali, waktu aku bersiap untuk melepas rindu kepahitan hakiki dari secangkir kopi. Kota yang telah lama tak ku singgahi ini membuatku tak sabar lagi untuk beranjak dari ruang malasku.

Kopiku telah tersaji di atas meja, tepat dihadapanku, tersaji disebelah kanan laptopku, tempat aku mencoba melupakan kenangan-kenangan masa laluku melalui catatan-catatan cacat yang tak terbaca olehku, biarlah orang lain yang membaca, yang merasa tak terlalu jemu dengan kisah-kisah pilu, aku takut membaca tulisanku, membuatku mengingat kembali kisah masa lalu, kisah kelam yang berhasil memudarkan kisah indah didalam otakku. Memori yang tersimpan di benak kita memang selalu mudah untuk mengingat masa kelam, yang membutuhkan sedikit waktu untuk mengingat kisah indah masa lalu.

Terkadang secangkir kopi menawarkan kenyamanan di setiap teguk yang kita sesapi, Kedai kopi sendiri menawarkan ketenangan yang menyembuhkan rindu yang kita sendiri tak tahu apa itu.

Blog Am I Coward telah migrasi ke rumah baru, link di bawah ini akan mengantarkan anda ke rumah barunya   hudiyawan.id   Maaf ata...