Dua purnama telah berlalu,
purnama ketiga muncul dengan sedikit malu, sekali lagi kopiku masih belum
terjamu.
Berbulan-bulan yang lalu aku
memilih untuk meninggalkanmu, kewajibanku telah berakhir dengan toga yang
kubiarkan berdebu di dalam lemari usang bekas kamarku. Kotaku yang dulu hingar
bingar ketika berpisah denganku, kini sedikit pilu dengan lalu lalang asing
penuh benalu, aku pernah menjadi benalu.
Kedai kopi yang biasa aku
singgahi sedikit berubah, meja yang dulu sepi kini telah bertambah.
Pelanggannya pun terlihat masih baru, atau aku yang sudah terlalu lama tak
berkunjung berubah menjadi pelanggan baru, hanya ada satu orang pelanggan yang
masih familiar di mataku, seorang pria yang selalu ada ketika aku berkunjung di
kedai itu. Baristanya pun masih sama, seorang wanita dengan seni tato yang
tergambar di lengan kanannya, sedikit tertutupi oleh kaos hitam yang dikenakannya,
tato bermotif tribal yang menari-nari ketika lengannya mulai membuat sajian
kopi.
Kopiku masih belum terjamu,
proses penyajian sebuah kopi memang membutuhkan kelihaian dan keteliatian, aku
masih bisa memaklumi.
Jam tanganku telah mati, jarumnya
berhenti di pukul 12, dengan jarum detik yang berhenti di angka ke 23. Kedai
ini tak menyediakan penunjuk waktu, agar para pelanggan tak pernah merisaukan
waktu, cukup dengan habisnya kopi dalam cangkir tanahmu telah mengingatkan
tentang usainya kunjunganmu, jika kau merasa kurang waktu, kau bisa menambah
secangkir kopi lagi agar rindumu tak cepat berlalu. Aku memilih metode
penyajian France Press yang terisi
penuh, agar aku puas duduk di kursi meja kedai itu dan mencatat catatan kenanganku
hingga terbunuhnya waktu.
Terlalu sore bagiku
berkunjung ke kedai ini, jam di smartphoneku
masih menunjukkan pukul 7:56, tak seperti biasanya aku datang sesore ini,
kunjunganku terbiasa ketika jam dinding kamarku berbunyi sembilan kali, waktu
aku bersiap untuk melepas rindu kepahitan hakiki dari secangkir kopi. Kota yang
telah lama tak ku singgahi ini membuatku tak sabar lagi untuk beranjak dari
ruang malasku.
Kopiku telah tersaji di atas meja,
tepat dihadapanku, tersaji disebelah kanan laptopku, tempat aku mencoba
melupakan kenangan-kenangan masa laluku melalui catatan-catatan cacat yang tak
terbaca olehku, biarlah orang lain yang membaca, yang merasa tak terlalu jemu
dengan kisah-kisah pilu, aku takut membaca tulisanku, membuatku mengingat
kembali kisah masa lalu, kisah kelam yang berhasil memudarkan kisah indah
didalam otakku. Memori yang tersimpan di benak kita memang selalu mudah untuk
mengingat masa kelam, yang membutuhkan sedikit waktu untuk mengingat kisah
indah masa lalu.
Terkadang secangkir kopi
menawarkan kenyamanan di setiap teguk yang kita sesapi, Kedai kopi sendiri
menawarkan ketenangan yang menyembuhkan rindu yang kita sendiri tak tahu apa
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar